Sabtu, 15 Desember 2012

Menyusun Laporan Evaluasi


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kegiatan evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya apa pun yang terprogram, tak terkecuali bagi program pembelajaran sebagai bagian dari program pendidikan dalam arti mikro. Melaksanakan evaluasi program pembelajaran merupakan tugas pokok seorang evaluator dalam manajemen sekolah, namun tidak berarti hanya evaluator saja yang harus memahami model-model evaluasi program pembelajaran tetapi para pendidik dan calon pendidik serta praktisi lain yang berkecimpung dalam bidang pendidikan juga perlu memahaminya. Upaya peningkatan kualitas program pembelajaran memerlukan informasi hasil evaluasi terhadap kualitas program pembelajaran sebelumnya. Dengan demikian, untuk dapat melakukan pembaharuan program pendidikan, termasuk di dalamnya adalah program pembelajaran kegiatan evaluasi terhadap program yang sedang maupun telah berjalan sebelumnya perlu dilakukan dengan baik. Untuk dapat menyusun program yang lebih baik, hasil evaluasi program sebelumnya merupakan acuan yang tidak dapat ditinggalkan. Untuk itulah, sebagai calon pendidik perlu memahami program evaluasi pembelajaran.
Produk fisik sebuah evaluasi terlihat pada laporan tertulisnya. Laporan tertulis harus disusun oleh seseorang  atau tim evaluator, sehingga hasil evaluasinya dapat dipublikasikan dengan baik kepada orang atau pihak lain.

B.  Rumusan Masalah
Untuk membatasi makalah ini, pembahasan yaitu meliputi antara lain :
1.    Apa yang harus disajikan atau dipaparkan dalam laporan evaluasi ?
2.    Bagaimana susunan laporan


C.  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut :
  1. Mengkaji tentang laporan evaluasi.
  2. Memberikan pemahaman tentang susunan laporan






















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Paparan Sebuah Laporan Evaluasi
Setiap loporan evaluasi biasanya memuat empat hal pokok, yaitu:
1.    Permasalahan
2.    Metodologi evaluasi
3.    Hasil evaluasi
4.    Kesimpulan hasil evaluasi

1.   Permasalahan Evaluasi

Apa yang dipermasalahkan dalam kegiatan evaluasi perlu dijelaskan sebab setiap evaluasi adalah untuk menjawab suatu permasalahan. Adanya kegiatan evaluasi dikarenakan adanya suatu masalah yang ingin dipecahkan atau ingin dijawab.
Masalah evaluasi biasa mencakup beberapa hal, seperti bagaimana rumusan masalahnya, latar belakang mengapa masalah tersebut dipilih untuk dievaluasi, apa tujuan yang ingin dicapai dengan mengevaluasi masalah tersebut, dan tinjauan teori/kepustakaan/hasil-hasil evaluasi sebelunya yang berkaitan dengan evaluasi tersebut. Dalam laporan evaluasi pun perlu disertai penjelasan tentang letak tempat evaluasi diselenggarakan.

2.   Metodologi  Evaluasi
Untuk dapat menemukan dan memcahkan atau menjawab masalah evaluasi diperlukan prosedur-prosedur yang bersipat metodologis. Aspek metodologis dalam laporan evaluasi biasanya berisi penjelasan tentang tipe pendekatan evaluasi yang digunakan (survey atau sensus), tahap – tahap evaluasi program, teknik – tekni untuk mencapai satandar (kredebilitas, komfirmabilitas, dependabilitas dan transferabilitas, populasi dan sampel evaluasi , metode pengumpulan data dan instrumentasi, serta strategi analisis data

3.   Hasil  Evaluasi
Apabila data mengenai hal yang dipermasalahkan dalam evaluasi telah terkumpul, kemudian diolah dan dianalisis (menggunakan prosedur statistic). Hasil pengolahan dan analisis disajikan sebagai hasil evaluasi. Hasil evaluasi juga mencakup dimensi-dimensi yang bersipat kontek dari apa yang dipermasalahkan pada suatu evaluasi.

4.   Kesimpulan Hasil Evaluasi
Kesimpulan hasil evaluasi bersifat lebih abstrak dari pada data atau hasil evaluasi itu sendiri, dan bersifat menjawab permasalahan evaluasi yang ada. Ia lazim diikuti pula dengan pemberian saran-saran untuk evaluasi lebih lanjut.

B.  Susunan Laporan
Laporan evaluasi tidak ubahnya seperti laporan penelitian, ada yang menggunakan pendekatan kuantitatif, dan ada yang menggunakan pendekatan kualitatif.
Laporan evaluasi menggunakan pendekatan kuantitatif umumnya tersusun dari lima atau enam bab, yaitu : pendahuluan, pembahasan kepustakaan, metodologi evaluasi, hasil evaluasi dan pembahasan (hasil evaluasi, pembahasan ), serta kesimpulan dan rekomendasi.

Pada Bab Pendahuluan, biasanya terdapat sub bab seperti :
1.    Latar belakang Masalah
2.    Rumusan Masalah
3.    Tujuan Evaluasi
4.    Manfaat Evaluasi
5.    Batasan Konsep/Istilah

Pada Bab Pembahasan Kepustakaan, subbabnya sangat bergantung pada masalah dan/atau bangunan teori yang melandasi pelaksanaan evaluasi. Tujuannya untuk menunjukkan sejumlah konsep, teori, data, temuan – temuan yang bersangkut paut dengan masalah evaluasi sehingga masalah yang dievaluasi menjadi lebih jelas.

Pada Bab Metodologi Evaluasi subbnya meliputi;
1.    Tipe/pendekatan/model evaluasi yang dilakukan
2.    Populasi dan sampel evaluasi
3.    Metode pengumpulan data
4.    Instrumen pengukuran variable
5.    Metode/teknik/strategi analisis data

Bab Hasil Evaluasi, subbabnya sangat tergantung pada masalah evaluasi . Jika yang dievaluasi melibatkan lima aspek maka subbabnya tentu lima, demikian seterusnya.

Bab Pembahasan Hasil Evaluasi biasanya membahas keseluruhan hasil evaluasi beserta tinjauan kepustakaan yang ada, sehingga kita dapat menempatkan bagaimana posisi hasil temuan tersebut dalam persfektif khazanah pengetahuan/teori yang telah ada.

Bab Kesimpulan dan Rekomendasi biasanya terdiri dari;
1.    Kesimpulan
2.    Saran – saran
Laporan evaluasi menggunakan pendekatan kualitatif umumnya tersusun dari beberapa bab dan sub bab yang dapat diidentifikasi menjadi tiga bagian pokok, yaitu :
Bab 1  :  Pendahuluan,
Bab 2  :  Inti pembahasan
Bab 3  :  Kesimpulan.

Bagian Pendahuluan biasanya berisi:
1.    Latar Belakang Evaluasi
2.    Tema/Pokok Masalah yang akan dievaluasi dan akan dibahas
3.    Pendekatan umum/Metodologi Evaluasi yang digunakan yang bersifat teknis dan rinci biasanya ditempatkan pada bagian lampiran

Bagian Inti Pembahasan biasanya dimulai dari bab yang isi pembahasannya lebih umum dan luas, kemudian diikuti dengan pembahasan pada lingkup yang lebih sempit.
Pembahasan yang bersifat umum dan luas biasanya diangkat dari sumber-sumber kepustakaan, setelah itu akhirnya laporan ditutup dengan kesimpulan.

Secara detail Susunan Laporan Evaluasi dapat diuraikan sebagai berikut :
1.   Ringkasan Eksekutif
Ringkasan eksekutif berisi pokok-pokok permasalahan kebijakan dan alternative rekomendasi kebijakan dengan dukungan kuat dari informasi empiris yang akurat serta nilai normative yang tajam.





2.   Pendahuluan
a.   Latar Belakang Masalah
Bagian ini menguraikan latar belakang empiris misalnya berupa kasus aktual, dan  konseptual ideologis untuk menunjukkan adanya permasalahan evaluasi
b.   Rumusan Masalah
Permasalahan evaluasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga mencerminkan misi pencarian alternative rekomendasi yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan.
c.   Tujuan Evaluasi
Tujuan evaluasi menggambarkan berbagai alternative rekomendasi kebijakan yang diperlukan dan layak untuk memecahkan permasalahan kebijakan
d.   Manfaat Evaluasi
Perumusan manfaat evaluasi harus dapat menunjukkan sasaran strategis yang menjadi pusat perhatian evaluasi program.
e.    Batasan Pengertian
Apabila diperlukan evaluator dapat menyertakan beberapa batasan pengertian konsep kunci dari kegiatan evaluasinya.

3.   Kajian Pustaka
Kajian pustaka diperlukan untuk:
a.    Mempertajam permasalahan evaluasi
b.    Mendasari pengembangan strategi, rancangan dan model evaluasi
c.    Mendasari instrumentasi dan penafsiran makna dari data yang akan diperoleh
d.    Mendasari analisis dan perumusan alternative kebijakan.
Kajian pustaka hendaknya dapat menunjukkan kebijakan dan peraturan yang menjadi kontek permasalahan evaluasi dan informasi empiris untuk mendukung argumentasi yang dikembangkan dalam kegiatan evaluasi.

4.   Metodologi Evaluasi
Metodologi evaluasi berbeda dengan metodologi penelitian.
Komponen penting dalam laporan tentang metodologi, yaitu :
a.   Cakupan Wilayah Evaluasi
Bagian ini menunjukkan pembatasan cakupan seberapa jauh dapat diberlakukannya temuan evaluasi dan alternative rekomendasinya.

b.   Rancangan Evaluasi
Evaluasi dapat dilakukan dengan maksud untuk menjadi dasar perumusan kebijakan, untuk menunjang implementasi kebijakan, atau untuk mengetahui kinerja dan dampak dari kebijakan. Bab ini melaporkan rancangan yang digunakan beserta penjelasannya.
c.   Pengumpulan Data
Dalam rancangan harus jelas data apa yang diperlukan dan/atau dikumpulkan , masing-masing harus jelas sumber data, metode serta instrument pengumpul datanya. Keterkaitan antar jenis data dapat ditata dalam suatu kerangka sistematik yang diturunkan berdasarkan kajian teoritis. Alat pengumpulan data harus dapat menjamin bahwa informasi yang dihasilkan adalah sahih dan andal, sehingga dapat menjadi dasar untuk perumusan alternative rekomendasi kebijakan.
d.   Triangulasi
Triangulasi meripakan suatu cara memandang permasalahan/objek yang dievaluasi dari berbagai sudut pandang. Dapat dipandang dari banyak metode atau sumber data. Tujuannya agar dapat melihat objek evaluasi dari semua sisi.
Dalam kaitannya dengan luasnya data dan sumber data, suatu evaluasi program juga dimunkinkan dilakukan secara sampling. Untuk itu harus jelas batas-batas populasi dan prosedur samplingnya, serta mengingat kaida sampling yang tepat.
e.   Analisis Data
Cara analisis terdiri dari dua bagian, yaiut:
e.1. analisis untuk menghasilkan kesimpulan atas data empiris
e.2. analisis untuk menghasilkan alternative rekomendasi kebijakan
Analisis pertama untuk menemukan apa yang perlu direkomendasi, sedangkan analisis kedua menjadi dasar untuk merumuskan alternative rekomendasi kebijakan yang operasional.

5.   Hasil Evaluasi
Bab hasil evaluasi ini memuat tiga komponen pokok, yaitu
a.    Deskripsi data
b.    Analisis data dan pembahasan
c.    Analisis rekomendasi

a.   Deskripsi data
-          Pemaparann singkat kontek kelembagaan dan karakteristik lain tentang kontek dari evaluasi program yang dilakukan
-          Sajian deskrptif dari masing-masing ubahan pokok yang menjadi pokus evaluasi program

b.   Analisis data dan pembahasan
-          Analisis data sangat ditentukan oleh sifat evaluasinya. Untuk evaluasi formulasi kebijakan akan dilakuakn prakiraan kondisi yang memerlukan kebijakan alternative, untuk evaluasi implementasi kebijakan akan banyak dilakukan eksplanasi fenomena yang memerlukan optimasi , sedangkan untuk evaluasi hasil kebijakan akan banyak dilakukan  evaluasi kinerja. Hasil serta dampak yang positif maupun negative diupayakan sustainabilitasnya.
-          Pembahasan merupakan upaya untuk memaknai semua temuan hasil analisis data, dari berbagai presfektif seperti teoritis, teknis, legalistic, social cultural, dan sebagainya.
c.   Analisis rekomendasi
Rekomendasi bersifat prospektif, memandang informasi empiris sama pentingnya dengan nilai formatif. Oleh karena itu, bagian ini mencerminkan seberapa serat nilai dan informasi dari suatu evaluasi. Pengajuan setiap alternative kebijakan  dituntut dapat mengidentifikasikan dan menguraikan tujuan, konsekuesi, biaya , kendala, dampak lanjutan atau sampingan, waktu, resiko dan juga peluang keberhasilan.

6.   Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab ini secara ringkas dan padat menyajikan kesimpulan yang diperoleh dari analisis data, dan alternative rekomendasi yang dirumuskan berdasarkan analisis rekomendasi

7.   Daftar Pustaka
Dalam penyusuna daftar pustaka harus didasarkan pada bahan acuan yang digunakan dalam evaluasi.

           



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Menyusun laporan evaluasi adalah kegiatan akhir dari evaluasi program. Laporan hasil evaluasi disusun dalam bentuk tulisan dan dapat dipublikasikan.
Secara garis besar laporan evaluasi program terdiri dari empat pokok hal yaitu : permasalahan, metodologi evaluasi, hasil evaluasi dan kesimpulan hasil evaluasi.
Laporan evaluasi tidak ubahnya seperti laporan penelitian, ada yang menggunakan pendekatan kuantitatif, dan ada yang menggunakan pendekatan kualitatif.
Laporan evaluasi menggunakan pendekatan kuantitatif umumnya tersusun dari lima atau enam bab, yaitu : pendahuluan, pembahasan kepustakaan, metodologi evaluasi, hasil evaluasi dan pembahasan (hasil evaluasi, pembahasan ), serta kesimpulan dan rekomendasi.
Laporan evaluasi menggunakan pendekatan kualitatif umumnya tersusun dari beberapa bab dan sub bab yang dapat diidentifikasi menjadi tiga bagian pokok, yaitu : pendahuluan, inti pembahasan dan kesimpulan.
B.  Saran
Secara garis besar laporan hasil evaluasi diharapkan diususun secara ringkas, padat, jelas dan paling tidak memuat hal-hal berikut : ringkasan eksekutif, pendahuluan, kajian pustaka, komponen dalam metodologi evaluasi, hasil evaluasi, kesimpulan dan rekomendasi yang terakhir adalah daftar pustaka.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S, (2007). Evaluasi Program Pendidikan. Pedoman Teoretis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara

Kamis, 06 Desember 2012

Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah Negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan. Letaknya sangat strategis di antara benua Asia dan Australia dengan iklim tropis memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Indonesia kaya dengan sumber-sumber daya alam baik dalam bumi berupa hasil-hasil pertambangan, di atas bumi tanam-tanaman sumber bahan makanan dan industri, dan dalam laut berupa bermacam-macam biota laut.
Kondisi bangsa yang semakin terpuruk dalam berbagai dimensi kehidupan yang ditandai dengan krisis ekonomi serta krisis multi dimensi membuat masyarakat Indonesia tidak sanggup menangggung beban hidup yang semakin menghimpit. Berbagai persoalan hidup bermunculan seperti kemiskinan, pengangguran, bencana alam, kriminalitas, harga bahan pokok semakin melonjak, serta biaya pendidikan yang semakin tinggi. . Setelah merdeka, bebas dari penjajahan, pembangunan Indonesia dimulai melalui tiga periode : 1956-1965 di bawah pemerintahan presiden Soekarno, 1967-1997 di bawah pemerintahan orde baru Suharto, dan periode reformasi sekarang yang belum jelas hasil-hasil pembangunannya.
Hal ini menggugah jiwa patriotis dari kalangan mahasiswa dan masyrakat.Dipelopori oleh mahasiswa yang didukung oleh beberapa tokoh seperti Amin Rais, gerakan untuk menunutut perubahan yang mendesak terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak popular di mata masyarakat mulai berkumandang di seluruh penjuru tanah air. Rezim Orde Baru yang memerintah lebih dari 30 tahun (1965-19970 yang mustahil untuk dilengserkan berhasil dibuat tidak berdaya oleh suara lantang rakyat dan mahasiswa. Karena suara rakyat yang tertindas adalah suara Tuhan, ini yang membuat gerakan menuntut perubahan semakin kuat dari stiap bangsa Indonesia.
Alhasil, perjuangan untuk menuntut perubahan di negeri ini dapat diraih yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga. Dari sinilah muncul berbagai ide untuk lebih memaksimalkan pembangunan bangsa yang adil dan merata.
Daerah-daerah mulai berani menuntut haknya, yakni otonomi daerah. Mereka melihat bahwa sitem sentralistik yang yang selama ini dijalankan tidak berhasil membawa Indonesia kea rah yang lebih baik. Pembangunan lebih banyak di pusat atau daerah tertentu sedangkan daerah penghasil devisa besar justru terbelakang.
Berbagai desakan dilakukan oleh daerah termasuk mengancam keluar dari NKRI jika tuntutan mereka tidak dipenuhi., Akhirnya UU otonomi daerah oleh pemerintah dan DPR disepakati untuk disyahkan maka pada tahun 1999 yaituUU No 22/1999.Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka wewenang untuk mengurus daerah sendiri mulai dirancang oleh masing-masing daerah.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, persoalan demi persoalan mulai muncul. Isu sumber daya manusia yang sangat minim menjadi penyebab utama. Demikian halnya dengan persoalan pendidikan yang mana turut menjadi wewenang daerah menjadi pro-kontra di masyarakat.Dalam makalah ini kami akan membahas tentang pengertian otonomi, sentralisasi, dan desentralisasi;otonomi pendidikan, sentralisasi pendidikan, dan desentralisasi pendidikan; pembenahan pendidikan.
B. RUMUSAN MASALAH.
1.      Konsep dasar sentralistik dan desentralistik Pendidikan.
2.      Kekuatan , Kelemahan Sentralisasi dan desentralisasi pendidikan







BAB II
URAIAN MASALAH
A.  Pradigma Pembangunan Pendidikan
Pendidikan mengambil peran penting dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa saat ini. Akan tetapi berbagai upaya yang telah pemerintah lakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan belum menunjukkan hasil yang memuasklan. Dari Laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Indeks (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indikator mutu pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Kondisi rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan oleh kebijakan pembangunan di bidang pendidikan yang berorientasi pada input-output analisis cenderung dilaksanakan secara birokratik-sentralistik.
Oleh karena itu paradigma pembangunan pendidikan perlu di ubah sebagaimana telah diamanatkan Undang-undang yaitu perubahan paradikma sentralistik kearah desentralisasi dengan dengan basis masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat merupakan salah satu solusi alternatif untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan pendidikan berbasis masyarakat diharapkan mutu pendidikan memiliki relevansi langsung dengan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya
Krisis ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter 1997 tidak kunjung pulih, di mana negara-negara Asia lainnya telah pulih hanya dalam 2-3 tahun.Dalam kondisi seperti ini, sektor pendidikan mengalami tantangan-tantangan yang besar, ditambah lagi dengan adanya tuntutan-tuntutan dari perubahan-perubahan lingkungan gelobal, bergesernya ekonomi industri ke ekonomi pengetahuan (knowledge economy) , inovasi dan kemajuan teknologi yang mempengaruhi tuntutan pendidikan, tuntutan kompetensi dalam dunia kerja yang berubah, berkembangnya otonomi daerah yang tidak hanya sekedar aspek politik, tetapi harus mempunyai manfaat ekonomi dan pembangunan umumnya; sumber-sumber daya alam yang makin terbatas, dan lain-lain.


B. Pradigma Pembangunan Pendidikan dari tingkat dasar,menengah sampai Pendidikan Tinggi
Untuk itu diperlukan paradigma baru dalam bidang pendidikan dari tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Paradigma baru tersebut mungkin menyangkut pemikiran tentang masalah-masalah berikut ini:
  1. Perkembangan pemikiran pendidikan di Indonesia semenjak kemerdekaan hingga saat ini tampaknya belum menemukan konsep pendidikan yang dapat digunakan dalam jangka panjang.
  2. Adanya otonomi daerah tidak boleh meninmbulkan frgamentasi kebijaksanaan pendidikan nasional, walaupun hanya terbatas pda pendidikan tingkat dasar dan menengah.
  3. Ada pendapat untuk mengatasi kemandekan pemikiran pendidikan, kita harus kembali pada pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Muhammad Syafei. Pemikiran itu pada masa lalu timbul dalam semangat politik non-cooperation terhadap penjajahan Belanda, dan untuk menumbuhkan nasionalisme dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Sekarang baik lingkungan nasional dan maupun lingkungan global sudah sangat berbeda. Indonesia sudah merdeka 62 tahun.
  4. Konsep dan pelaksanaan pendidikan di Eropah didasarka pada pada Link & Match antara University dan Industry modern, antara dunia pendidikan dengan dunia kerja; di Cina adalah belajar selama hidup atau LLL ( Life Long Learning) dan tepat waktu atau Just in Time Learning (JiTL), di Jepang kreativitas dan praktik dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Di Indonesia konsep dan pelaksanaannya bagaimana? Kalau kita mau mencontoh, yang mana yang lebih cocok dan mungkin bagi Indonesia.
  5. Dalam kurikulum pendidikan kita mana yng lebih baik: menggunakan kurukulum leading atau following. Dan dalam kurikulum, apakah strateginya banyak tapi dapat sedikit, atau sedikit tapi dapat banyak? Jangan dibebani murid-murid sekolah dengan terlalu banyak pelajaran, dan adanya anggapan bahwa beberapa mata pelajaran yang overlaping antara sekolah dasar, menengah pertama dan menengah lanjutan.
  6. Antara pendidikan dan kebudayaan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan tidak hanya dalam konsep tetapi dalam kelembagaan, karena budaya itu adalah values bukan hanya artifact.
  7. Pendidikan adalah human investment antar generasi, karena itu perlu strategi jangka panjang, yang seharusnya tidak terbatas pada periode-periode satu pemerintahan, apalagi terbatas hanya pada periode seorang menteri.




BAB III
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR SENTRALISASI PENDIDIKAN
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama
Dalam era reformasi deawasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti : kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat.
Kalau hal ini terjadi maka konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari. Dalam sejarah konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya – upaya pemisahan diri yang tentunya mengancam disintegrasibangsa.
Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI. Masalah sinkronisasi dan koordinasi kebiajakan pendidikan dan upaya membina generasi muda yang berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi fokus dalam makalah
B. KEKUATAN DAN KELEMAHAN SENTRALISASI PENDIDIKAN
Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, seba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bai kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya,posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti :
1.      Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan
2.      Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
3.      Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
4.      Melemahnya kebudayaan daerah
5.      Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, makaupaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.
C. KONSEP DASAR DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995.Menurut UU No.22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :
1.      Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.
2.      Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
3.      Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.
4.      Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
5.      Mengakomodasi kepentingan poloitik.
6.      Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.
Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain :
a.       Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
b.      Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikandan pemerintah pusat kedaerah otonom, yang menempatkan kabupaten / kota sebagai sentra desentralisasi.

Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah ( daerah ). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.
Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat.Desentralisasi pendidikan suatu keharusan Rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyrakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights). Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang bertanggungjawab. Pada masa orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.
Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan separtisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional.Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa ( H.A.R Tialar, 2002).
1.      Masyarakat Demokrasi
Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak asasi manusia.
Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam masyrakat madani adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and clean governance).
2.      Pengembangan “Social Capital”
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya bias diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebassan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desntralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
3.      Pengembangan Daya saing
Di dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi yang optimal dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam kerja sama. Di dalam suatu masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter.
Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan menibkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing seseorang atau suatu masysrakat. Faktor-fator tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru, dan inovasi.
B.KEKUATAN DAN KELEMAHAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :
1.      Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2.      Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
3.      Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4.      Sumber daya manusia yang belum memadai.
5.      Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6.      Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
7.      Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1.      Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat.
2.      Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.
3.      Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.
4.      Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan pendidikan.
5.      Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.
6.      Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
7.      Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
1.      Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.
2.      Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.
3.      Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.
4.      Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
5.      Pemahaman pemerintah daerah maupunDPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
6.      Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.
7.      Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.

Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
1.      Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
2.      Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar0benar dari oleh dan untuk masyarakat.
3.      Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.














BAB IV
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Pengelolaan pendidikan yang baik akan menghasilkan Indonesia yang baru.Desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan jika kita ingin cepat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Melalui pendidkan yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang kritis dan bertanggung jawab.
Masyarakat yang demokratis akan mampu menciptakan masyarakat madani yaitu masyarakat yang berbudaya tinggi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang mana sangat menghargai hak-hak asasi manusia.
Desntralisasi pendidikan perlu dijaga dari kemungkinan –kemungkinan terjadi hal-hal negatif seperti desentralisasi kebablasan, misalnya penyerahan tanggung jawab pendidikan kepada daerah for the sake of autonomy. Apabila penyerahan wewenang tersebut hanyalah sekadar memindahkan birokrasi pendidikan dan sentralisasi pendidikan di tingkat daerah, maka desnralisasi tersebut akan mempunyai nasib yang sama sebagaimana yang kita kenal pada masa orde baru.
B. SARAN – SARAN
  1. Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekuensi Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Dengan diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang demokratis telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas.
  2. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan pendidikan diorientasikan pada peningkatan mutu SDM dan pemerataannya di daerah.
  3. Lakasanakan amandemen UUD 1945  pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan pengelolaan anggaran minimal 20 % dari APBN.
  4. Persiapkan pelaksanaan otonomi pendidikan yang aplikasinya di mulai dengan upaya-upaya penguatan manajemen sekolah
  5. Ide dasar desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah adalah pengembangan pendidikan berbasis masyarakat (school based managemen / community)
  6. Berkaitan dengan otonomi pendidikan yang perlu juga di perhatikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten yang lebih demokratis, transparan, efisien melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan pembentukan Majelis Sekolah.
  7. Dalam konteks desentralisasi, pembelajaran yang berlangsung di lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi ”Fasilitator” dan “bukan pengendali”.
  8. Realitas birokrasi pendidikan yang terjadi saat ini dalamperfektif manajemen tidaklah menguntungkan.
  9. Pada tingkat praktis-pragmatis, sekolah yang menentukan bagaimana tujuan umum tersebut dicapai dengan keterlibatan penuh semua elemen sekolah













Daftar pustaka
Bobbi DePorter dkk, Quantum Learning, penerbit kaifa, Bandung, 2001
H A R. Tilaar, Paradigma baru pendidikan nasional, Rineka Cipta, Jakarta 2000.
H A R. Tialar, Membenahi pendidikan nasional, Rineka cipta, Jakarta, 2002
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud
Ki Fudyatanta, filsafat pendidikan barat dan filsafat pendidikan pancasila, Amus jogjakarta,2006
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.
Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung
RakaJoniT.(l977),Permbaharauan Profesional Tenaga Kependidikan: Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud